Demonstrasi etnis India di Malaysia yang tergabung dalam Hindu Rights Action Force (Hindraf) baru-baru ini kembali ditanggapi dengan tangan besi oleh aparat kepolisian setempat.Aksi yang menyuarakan perbaikan ekonomi dan mengkritisi perlakuan diskriminasi terhadap kaum minoritas India ini merupakan yang kedua setelah aksi perdana mereka akhir tahun lalu, yang juga diakhiri dengan water canon dan gas air mata. Hindraf yang merupakan aliansi dari berbagai elemen komunitas India tersebut tentunya tidak akan ’’keras kepala’’ mengadakan dua kali demonstrasi di negara multietnis yang melarang keras aksi massa jika aspirasi mereka lebih didengar pemerintah Malaysia yang tampak jelas menganak emaskan etnis Melayu (bumiputra).
Semenjak kerusuhan rasial 13 Mei 1969 yang hampir saja menyeret penduduk negeri jiran itu ke perang saudara tak berkesudahan, pemerintah berinisiatif menelurkan paket kebijakan bernama Dasar Ekonomi Baru pada 1971 yang bertujuan mengatasi kesenjangan ekonomi antara etnis Melayu dan China.Kebijakan itulah yang diyakini banyak kalangan berhasil mengangkat kesejahteraan etnis Melayu di satu sisi, tapi merugikan etnis China dan India di sisi lain. Dengan Dasar Ekonomi Baru tersebut pemerintah Malaysia mencetak aturan yang mengharuskan 30% kepemilikan saham dikuasai oleh etnis Melayu,sedangkan 40% diperuntukkan etnis non-Melayu yang di dalamnya termasuk etnis China dan India dan 30% sisanya untuk asing.
Kebijakan itu sukses mengangkat keterpurukan ekonomi etnis Melayu. Meski perlahan,akumulasi kapital di tangan etnis Melayu meningkat tajam dari hanya 4% pada 1970 menjadi sekitar 20% pada 1997.Di sektor pendidikan,kebijakan ini juga menghadiahkan prioritas kuota kepada etnis Melayu untuk bisa mengenyam pendidikan dengan mudah di perguruan tinggi negeri.Meskipun kuota ini hanya berlaku hingga 2003, tidak sedikit etnis minoritas yang mengecam kebijakan pilih kasih tersebut. Porsi kepemilikan saham 40% untuk etnis non-Melayu tidak dapat dimungkiri didominasi oleh etnis China yang memang telah menunjukkan eksistensinya di bidang ekonomi secara mengesankan jauh sebelum Malaysia merdeka pada 1957.Antara 1970 hingga 1990, kepemilikan saham etnis China justru mengalami lonjakan cukup berarti hingga mencapai 46%.
Pada kenyataannya,angka tersebut melebihi target 40% kepemilikan saham untuk etnis non-Melayu. Dengan demikian,meski pemerintah Malaysia tidak merumuskan langkah konkret untuk mencapai target 40% bagi etnis non- Melayu,etnis China masih cukup mampu merajai sendi-sendi perekonomian.Sementara itu, keberadaan etnis India secara umum dalam struktur masyarakat Malaysia diyakini banyak kalangan menempati posisi ketiga setelah etnis Melayu dan China meski tidak dapat dimungkiri terdapat sejumlah etnis India yang tidak kalah sukses dibanding etnis lainnya.Data terakhir mengenai angka pertumbuhan pendapatan rumah tangga keluarga Malaysia menunjukkan bahwa etnis India berada di posisi paling bawah dengan rata-rata pertumbuhan hanya sebesar 3,5%, masih di bawah etnis China dengan 3,6%,dan jauh tertinggal dibanding etnis Melayu dengan 4,9%.
Dalam ranah politik,Malaysian Indian Congress (MIC) yang dipercaya sebagai partai yang paling efektif dalam menyuarakan kepentingan etnis India tidak cukup mampu berbuat banyak ketika usulannya untuk mencapai target 3% kepemilikan saham bagi komunitas India sampai batas waktu pada 2010 dalam skema Rancangan Pembangunan Malaysia ke- 9 ditolak oleh pemerintah.Sebagai gantinya,pemerintah menunda target pencapaian itu hingga 2020 nanti. Sayangnya,penundaan itu pun tidak disertai dengan rencana aksi yang jelas tentang bagaimana mewujudkan target 3% kepemilikan saham tersebut. Rasa frustrasi yang melanda etnis India yang tergabung dalam Hindraf, tampaknya tidak saja seputar isu ketidakadilan ekonomi.
Mereka juga mengklaim bahwa banyak kuil-kuil Hindu sebagai tempat peribadatan terpaksa dibongkar aparat pemerintah untuk pelebaran jalan ataupun pembangunan konstruksi.Fenomena tersebut masih ditambah dengan peminggiran bahasa Tamil sebagai bahasa leluhur mereka yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya jumlah sekolah yang menggunakan bahasa Tamil bagi etnis India. Selama ini mayoritas etnis India menggantungkan harapan politiknya kepada partai MIC (Malaysian Indian Congress) yang beraliansi di bawah bendera Barisan Nasional dengan partai mayoritas etnis Melayu,United Malays National Organisation(UMNO) dan partai utama etnis China, Malaysian Chinese Association(MCA).
Namun demikian,besar kemungkinan jumlah perolehan suara MIC dalam pemilu yang akan digelar tanggal 8 Maret mendatang akan merosot. Pasalnya,cukup banyak di antara etnis India yang tidak lagi puas dengan kepemimpinan Samy Vellu yang telah memimpin MIC sejak 1979. Pria yang telah puluhan tahun menjadi satusatunya menteri dari etnis India di kabinet itu dianggap tidak lagi memperjuangkan kepentingan konstituennya dan diyakini terlibat dalam beberapa skandal korupsi. Koalisi Barisan Nasional yang telah memimpin Malaysia sejak periode kemerdekaan bisa dipastikan akan kembali memenangkan pemilu mendatang.
Namun, permasalahannya adalah kemampuan Abdullah Badawi sebagai perdana menteri sekaligus pimpinan UMNO untuk mempertahankan tradisi perolehan suara mayoritas di parlemen mendapat tantangan serius.Sebab,popularitasnya yang semakin menurun tidak saja disebabkan karena ketidakpuasan rakyat terhadap meningkatnya harga komoditas secara global,juga karena ketegangan rasial melalui maraknya aksi protes dewasa ini.
*Artikel ini dimuat kolom opini Koran Sindo Edisi Sore, Jumat 29 Februari 2008.