Tidak terkira sudah lebih dari dua abad umur formasi entitas politik yang bernama negara-bangsa (nation-state). Entitas politik yang tergolong baru ini lahir di tengah pergolakan politik dahsyat di belahan bumi Eropa pada akhir abad ke-18. Pergolakan ini dikenal dengan revolusi sistem ketatanegaraan yang menjungkirbalikkan entitas politik monarki yang bersimbiosis dengan institusi keagaaman (dalam konteks ini Gereja) menjadi entitas politik yang sama sekali baru dan cenderung menafikan dominasi institusi agama. Revolusi Perancis meletus karena permasalahan kemiskinan yang dibalut dengan ketidakpuasan atas dominasi Gereja yang sewenang-wenang. Raja Louis XVI dan permaisuri Marie Antoniette hidup bergelimangan harta, sementara rakyat jelata saling berulat demi sepotong roti. Didukung oleh iklim Abad Pencerahan (Enlightenment Age) yang ketika itu melahirkan pemikir-pemikir kritis seperti Jean-Jacques Rousseau Maximilien Robespierre, dsb., isu kemiskinan menjadi bom waktu yang siap meletus menjadi gelombang besar kericuhan sosial yang mencapai salah satu puncaknya ketika ratusan penduduk Paris menyerbu penjara Bastille sebagai perlambang absolutisme raja. Kericuhan itu diawali dengan pemecatan penasihat keuangan Jacques Necker yang dikenal dengan ide-idenya yang pro-rakyat oleh Louis XVI. Penyerbuan penjara Bastille (Storming of the Bastille) kemudian melahirkan aksi-aksi radikal lain yang belum pernah ditemui dalam sejarah Eropa sebelumnya. Paris dicekam oleh teror yang berkepanjangan (Reign of Terror). Dalam kurun waktu itu didokumentasikan sebanyak 18.000 hingga 40.000 orang mati di bawah pisau Guillotine, sebuah istilah yang diambil dari nama penemunya, Dr. Joseph-Ignace Guillotin, seorang fisikawan Perancis. Prinsip kerja pisau ini menarik karena sang penemu menginginkan agar sang tervonis mati bisa ‘mati dengan cepat’ (mati dengan kepala terpisah dari badan oleh pisau besar yang tajam) tanpa harus merasakan sakit yang berkepanjangan. Tak luput, raja Louis XVI beserta permaisurinya juga tewas di bawah pancungan pisau Guillotine. Tewasnya Louis XVI menandai berakhirnya era monarki absolut di Perancis yang kemudian diganti dengan bentuk Republik. Di samping menggusur sistem ketatanegaraan kuno (monarki), Revolusi Perancis juga telah mengkerdilkan dominasi Gereja yang ketika itu banyak melakukan penyimpangan, misalnya saja: menjual surat penebusan dosa kepada rakyat, para pendeta mendapat keistimewaan-keistimewaan lebih (privilege), dll. Monarki yang ketika itu mengadopsi hukum-hukum agama (Kristen) sebagai panduan hukum negara, direvolusi menjadi hukum sekuler. Dengan demikian, Revolusi Perancis melahirkan dua dimensi peradaban baru, yaitu formasi negara-bangsa (nation-state) dan institusionalisasi pemisahan urusan agama dari kehidupan bernegara (secularism).
Yang menarik dari Revolusi Perancis ini adalah pengaruh perubahannya tidak hanya dirasakan oleh warga Perancis belaka, namun juga oleh negara-negara tetangganya. Belum lagi peran serta Napoleon Bonaparte sebagai Emperor Republik Perancis ketika itu menabuh genderang ekspedisi penyebaran spirit Revolusi Perancis ke hampir seluruh daratan Eropa termasuk negara-negara seperti Italia, Swiss, Belanda, Jerman, Austria, dan beberapa negara lainnya yang kemudian dijadikan negara satelit Republik Perancis. Bahkan Napoleon juga menginvasi Mesir untuk menyaingi sepak terjang musuh bebuyutannya ketika itu, Inggris Raya, yang tengah asyik mendominasi India. Praktis, negara-negara Eropa yang sebelumnya menganut Monarki dan berpegang teguh pada kultur religius Imperium Kristen Romawi (Roman Empire) mewarisi konsep politik dan hukum Napoleon tentang negara-bangsa dan hukum sekuler yang ketika itu diperkenalkannya dengan sebutan Kode Sipil Napoleon (Napoleonic Civil Code).
Selamat datang era baru peradaban! Itulah mungkin kata yang tepat untuk dituturkan dalam menyambut formasi peradaban yang kita alami sekarang ini. Spirit yang terkandung dalam Revolusi Perancis berupa negara-bangsa dan institusionalisasi sekulerisme perlahan namun pasti menjadi agama baru penduduk Eropa. Ciri khas tersebut dibawa dan ditanamkan oleh Perancis dan Inggris ke negeri-negeri jajahannya di Afrika dan Asia. Bahkan, negara-negara Timur Tengah yang sebelumnya berbentuk Khilafah Islam (Ottoman Empire) dengan wilayah kekuasaan yang membujur dari barat; Mesir dan sekitarnya ke timur; Pakistan dan sekitarnya serta melintang dari utara; Austria, Hungaria ke selatan; Yaman harus rela terpecah belah akibat ekspansi spirit Revolusi Perancis tersebut. Muncullah kemudian entitas-entitas politik baru yang bernafaskan negara-bangsa seperti Turki yang sukses merevolusi diri menjadi entitas sekuler di bawah panduan Mustafa Kemal Pasha (Attaturk), Irak, Iran, Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Suriah, Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Libanon, dsb. Masing-masing dari negara ini memiliki kepala negara dan pemerintahannya sendiri-sendiri, tidak lagi sama ketika mereka dulu bergabung dengan Imperium Islam Turki di bawah satu kepemimpinan Khilafah. Dan meskipun sampai saat ini beberapa negara ini tetap mengadopsi sebagain hukum Islam, namun sebagian besar diantaranya juga mengadopsi hukum sekuler (Barat) sebagai sistem hukumnya.
Pada masa-masa awal abad ke-20 inilah istilah nasionalisme menjadi tersohor. Meskipun sebenarnya gejala-gejala nasionalisme sudah tampak pada masa Revolusi Perancis seperti simbol-simbol kesetiaan terhadap entitas baru Republik Perancis yang diwujudkan dengan penciptaan bendera Merah, Putih, Biru, lagu perjuangan sekaligus kebangsaan, La Marseillaise yang diciptakan oleh Claude Joseph Rouget de Lisle di Strassbourg pada tanggal 25 April 1792, dan motto negara Liberte, Egalite, Fraternite. Napoleon menggunakan prinsip nasionalism (kecintaan dan kesetiaan terhadap negara-bangsa) dengan cara menginvasi negara-negara Eropa. Adolf Hitler menyulut Perang Dunia atas nama nasionalisme (lebih tepatnya nasionalisme yang melampaui batas) yang kemudian dapat dikategorikan sebagai fasisme. Begitu pula dengan yang dilakukan oleh Benito Amilcare Andrea Musolini ketika memanipulasi kecintaan terhadap negara-bangsa (nasionalisme) menjadi fasisme. Nasionalisme sangat rentan menjadi fasisme. Bahkan hal itu dibuktikan oleh Sukarno ketika mencanangkan konfrontasi terhadap Malaysia sekitar awal tahun 1960-an. Mungkin saja Sukarno memang tidak suka dengan berdirinya negara Malaysia yang menurutnya merupakan warisan imperialisme Inggris, namun bisa juga langkah itu diterapkannya untuk menguji jiwa nasionalisme rakyat Indonesia. Nasionalisme kerapkali dijadikan sumber tenaga pendorong oleh negara-negara Dunia Ketiga untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajahan negara-negara kolonialis Barat. Meskipun telah merdeka, nasionalisme sebagai sebuah spirit tetap ada dan menurut saya, tetap akan bersemayam selama formasi negara-bangsa tetap ada.
Saya mendefinisikan nasionalisme sebagai sebuah ikatan perasaan senasib sepenanggungan diantara komunitas yang tinggal di negara-bangsa yang sama. Spirit itu akan terus dijaga, diolah, dan ditanamkan oleh negara-bangsa kepada warga negaranya baik melalui simbol-simbol maupun melalui sektor pendidikan. Istilah nasionalisme itu sendiri merujuk pada entitas politik baru (nation-state) di Perancis pasca penggulingan kekuasaan monarki. Nasionalisme adalah produk negara-bangsa. Jadi, nasionalisme tidak tepat digunakan dalam periode waktu sebelum Republik Perancis yang pertama lahir ataupun juga bisa disejajarkan dengan lahirnya entitas politik Amerika Serikat pasca Revolusi Amerika Serikat. Sementara itu, gejala-gejala nasionalisme seperti ‘berani mati demi membela tanah air tercinta dari serangan musuh’, ‘rela berkorban demi mempertahankan negara’, dan sejenisnya bisa ditemukan ratus tahun sebelum Revolusi Perancis. Anthony D. Smith, sosiolog London School of Economics and Politics, dalam bukunya The Ethnic Origins of Nations menyatakan: “… dimasa lampau kita dapat menemukan perjuangan yang menyerupai nasionalisme modern dalam beberapa hal, terutama keinginan untuk mempertahankan diri dari penyerangan asing …” (Smith, 1991; 11). Gejala nasionalisme dalam artian ikatan solidaritas terhadap sesama anggota komunitas adalah fenomena yang alami dan sudah ada seiring dengan keberadaan komunitas itu sendiri, namun demikian istilah nasionalisme itu sendiri adalah produk negara-bangsa, sehingga penggunaannya pun dibatasi untuk merujuk fenomena pasca lahirnya negara-bangsa.
Pemerhati nasionalisme yang lain seperti Benedict Anderson memiliki sudut pandang yang berbeda tentang nasionalisme. Menurut Anderson, bangsa adalah komunitas politik imajiner dan dibayangkan sebagai sesuatu yang terbatas dan berdaulat. (Anderson, 1991; 6). Dalam perspektif Anderson, bangsa (nation) adalah hasil imajinasi komunitas penghuninya yang terbentuk melalui ragam bahasa tulis. Ia bersikukuh bahwa merebaknya mesin cetak yang dapat memproduksi surat kabar dalam jumlah massal telah melahirkan sentimen nasionalisme atau kebangsaan. Logikanya seperti ini, orang Jawa yang bernama Joko yang tinggal di kabupaten Jepara, Jawa Tengah sama sekali belum pernah bertemu atau bertatap muka, bahkan tidak pernah mendengan sama sekali sebelumnya tentang orang yang bernama Ucok yang tinggal di kota Meda, Sumatera Utara. Akan tetapi, ketika mereka berdua dipertemukan dalam komunitas Perhimpunan Pelajar Indonesia Jepang di Nagoya misalnya, ikatan solidaritas mereka sebagai warga negara Indonesia dengan sendirinya akan tumbuh. Padahal, mereka sebelumnya sama sekali belum pernah bertemu, bahkan mendengar namanya saja tidak. Sentimen seperti ini pada masa sebelum negara-bangsa berdiri, menurut Anderson, atau lebih tepatnya pada zaman monarki, tidak ada. Karena menurut sosiolog yang fasih berbahasa Indonesia ini, kekuasaan pada zaman monarki bersifat menyebar, tidak terfokus seperti halnya pada masa negara-bangsa. Keberadaan mesin cetak memang mendukung dan mempercepat terbentuknya komunitas imaji di bumi. Dengan adanya media komunikasi baik cetak maupun elektronik, orang akan dapat dengan mudah membayangkan negara-bangsanya dan mengetahui batas-batas teritorialnya secara imajiner. Di luar batas imajiner teritorial itu terdapat kedaulatan negara-bangsa yang lain.
Pendapat yang lain dikemukakan oleh sosiolog India, T.K. Oommen yang menilai bahwa nasionalisme adalah proyek homogenisasi masyarakat plural yang kerapkali diwujudkan dengan menggunakan kekuasaan atau kekerasan (Oommen, 1997). Ia menyebutkan laporan Eugen Weber tentang penduduk Perancis yang tidak sadar dalam jangka waktu lama setelah revolusi bahwa mereka adalah orang Perancis. Bahkan, pada tahun 1789 setengah warga Perancis tidak dapat berbahasa Perancis sama sekali (Hobsbawm, dalam Oommen, 1997). Meskipun setelah itu mereka, perlahan namun pasti seiring dengan proyek homogenisasi, mulai mengenal bahasa Perancis dan menggunakannya dalam skala nasional. Di Jerman, Hitler mencanangkan proyek homogenisasi atas nama nasionalisme agar tercipta masyarakat Jerman yang homogen dengan mengorbankan jutaan etnis minoritas (disebutkan diantaranya adalah etnis Yahudi, meskipun memang belakangan ini mulai mencuat sejumlah kalangan beserta bukti-buktinya yang menyanggah tragedi Holocaust). Pasca runtuhnya imperium Islam Turki Usmani, atas nama nasionalisme dan nasionalisasi, proyek homogenisasi diluncurkan di negara-bangsa sekuler Turki pada tahun 1915 dengan melakukan genocida terhadap bangsa Armenia yang mayoritas beragama Kristen; sebuah perlakuan yang sebelumnya tidak pernah mereka alami ketika bangsa ini berada dalam imperium Islam Turki Usmani. Di Filipina, suku Mindanao di sebelah selatan yang telah mendiami wilayah itu sejak ratusan tahun yang lampau mengalami stigmatisasi dari suku bangsa yang lain yang beragama Kristen dan kerapkali menderita akibat represi pemerintah pusat. Di Indonesia, etnis Cina mengalami diskriminasi selama berpuluh-puluh tahun, khususnya pada masa kepemimpinan Suharto. Mereka dipinggirkan, tidak diberikan akses pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun ABRI, kerapkali dijadikan sasaran pemerasan dan beragam jenis diskriminasi yang lain oleh pribumi. Bukankan kecenderungan mereka untuk berprofesi sebagai pedagang karena kita pribumi tidak menyediakan akses pekerjaan yang lain kepada mereka? Apakah atas nama nasionalisme, proyek homogenisasi harus dilakukan dengan mematikan kultur budaya etnis tersebut dengan melarang tarian Barongsai misalnya? Sebagian besar etnis ini sudah tidak lagi bisa berbahasa Cina, mereka lahir dan beranak-pinak di Indonesia, mereka sekolah di sekolah-sekolah Indonesia, namun mereka susah sekali mendapatkan selembar kertas kecil yang bertuliskan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Menurut saya, sebenarnya mereka juga telah berupaya membangun klaim moral sebagai bagian dari bangsa Indonesia, namun hambatan kebijakan pemerintah yang kurang ‘welcome’ terhadap mereka itulah yang menghambat proses asimilasi. Etnis India di Fiji yang dibawa oleh kolonialis Inggris pada masa penjajahan tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah oleh pemerintah Fiji. Hal ini ironis, karena sebagian besar etnis India di Fiji bermatapencaharian sebagai petani. Pada tahun 1968, dari 645 orang lulusan universitas, 464 diantaranya adalah etnis India, 77 orang Fiji, dan 31 orang dari ras lain. Namun demikian, realitas itu tidak berbanding lurus dengan pola penyerapan tenaga kerja (Vasil, dalam Oommen, 1997). Representasi etnis India dalam angkatan bersenjata Fiji juga sangatlah kecil, namun hal ini masih lebih bagus daripada etnis Cina di Indonesia yang sama sekali tidak ditemui dalam ABRI ataupun TNI. Pada tahun 1970-an, orang Fiji yang tergabung dalam pasukan reguler berjumlah 395.372 orang, sementara etnis Fiji-India hanya 5 orang, sedangkan 18 orang sisanya dari etnis yang lain. Sebagai perbandingan, pada tahun 1945, populasi etnis India melebihi pribumi Fiji (Premdas, dalam Oommen, 1997). Dalam statistik CIA-World Fact Book, penduduk Fiji pada tahun 2007 berjumlah 918.675 orang, orang Fiji menyumbang sebesar 55% dari total penduduk, sementara etnis India, tidak jauh berbeda dengan orang pribumi berjumlah sekitar 44% dari total penduduk. Angka 44% dari 918.675 tidak bisa dibilang kecil, mengingat ras mayoritas, Fiji, hanya menyumbang sebesar 55%. Dan memang idealnya, pekerjaan di sektor publik bisa lebih banyak diserap oleh etnis India, begitu juga dengan sektor angkatan bersenjata. Bagaimanapun juga, kasus Fiji ini tidak begitu mencengangkan jika dibandingkan dengan kasus Indonesia pada zaman Suharto yang sama sekali tidak memberi peluang etnis Cina untuk bekerja sebagai pegawai negeri, ABRI, apalagi sebagai walikota, gubernur, ataupun menteri.
Negara-bangsa akan selalu mengeksploitasi simbol-simbol untuk mempertahankan ciri khasnya dan tugas itu dimainkan oleh pemerintah yang paling umum dan efektif diterapkan melaui jalur pendidikan. Mulai bangku SD hingga universitas (setidaknya diajarkan pada semester pertama sebagai mata kuliah wajib), pelajar di Indonesia mempelajari materi yang bernama Pendidikan Kewarganegaraan. Sebagian besar dari isi mata pelajaran tersebut berisi tentang nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme, Pancasila, mengenal heroisme masa lalu para pahlawan bangsa, dsb. Beragam monumen pahlawan dan museum dibangun oleh pemerintah di berbagai pelosok nusantara. Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di semua negara di dunia. Tujuannya tidak lain adalah untuk memunculkan memori-memori masa lalu heroisme kepahlawanan nasional yang ujungnya berguna untuk mempertahankan sentimen nasionalisme. Ketika berlangsung pertandingan bulu tangkis antara Taufik Hidayat melawan Lin Dan dari Cina, mungkinkah warga negara Indonesia justru memberi semangat dan bersorak-sorai untuk Lin Dan? Mungkinkan warga negara Indonesia yang kebetulan menonton pertandingan tersebut baik melalui televisi ataupun secara langsung di stadion mengharapkan kemenangan di pihak Lin Dan? Ini pertanyaan sepele, namun penting untuk dimunculkan. Jelas, orang Indonesa yang waras pasti tidak akan memberikan dukungannya pada Linda Dan, melainkan pada Taufik Hidayat. Begitu juga dengan warga negara Cina yang menonton pertandingan tersebut, mereka bisa dipastikan mati-matian membela pemain kesayangannya tersebut. Ketika terjadi sengketa perairan Ambalat yang tengah diperebutkan antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun lalu, mengapa dalam pemberitaan kita dapat dengan mudah mengetahui adanya serangkaian gelombang demonstrasi orang Indonesia yang cenderung ‘mencela’ Malaysia, bahkan ada pula yang membakar bendera Malaysia di depan kedutaan besar Malaysia di Jakarta. Padahal, banyak kesamaan antara mayoritas orang Indonesia dan Malaysia baik dalam hal agama, ras, bahasa, adat-istiadat, dsb. Tapi toh tetap persengketaan itu terjadi. Terbukti, negara-bangsa mampu melunturkan solidaritas yang dibangun atas fondasi agama, bahasa, ras, dll yang berada di luar teritori negara-bangsa tersebut.
Amir Majelis Mujahidin Indonesia, Abu Bakar Baasyir, seorang yang secara legal-formal berkewarganegaraan Indonesia, tidak bersedia memberi hormat kepada bendera merah putih. Hal ini sungguh menarik bagi saya. Sebuah lompatan revolusioner dari mainstream yang ada selama ini. Baasyir mengatakan, tindakan itu adalah syirik. Menurutnya, Allah-lah yang semestinya kita hormati, bukan benda mati. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan cabang dari Hizbut Tahrir Internasional yang pusatnya berada di Yordania, mengumandangkan takbir kebangkitan Khilafah Islamiyah, sebuah entitas politik yang tidak mengenal pengkotak-kotakan wilayah dalam bentuk negara-bangsa seperti sekarang ini. Menurut HTI, ikatan seorang muslim itu didasarkan atas aqidah Islam, bukan nasionalisme. Dalam pandangan mereka, keberadaan etnitas negara-bangsa seperti sekarang ini, justru mencerai-beraikan kekuatan Islam, karena penduduk muslim yang tersebar di seluruh dunia harus terkotak-kotak menjadi puluhan negara-bangsa seperti Arab Saudi, Irak, Iran, Mesir, Suriah, Kuwait, Yordania, Uni Emirat Arab, Yaman, Sudan, Tunisia, Aljazair, Libanon, Turki, Pakistan, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, dsb.
Dalam pidato-pidato kenegaraan, terutama ketika menyambut hari Kebangkitan Nasional, spirit nasionalisme selalu di-update dan disesuaikan dengan tema-tema kemajuan ekonomi-lah, peningkatan IPTEK-lah, Has Asasi Manusia-lah, dan beragam topik lainnya yang sebenarnya menurut saya tidak relevan dengan makna nasionalisme itu sendiri. Misalnya, suatu ketika saya pernah mendengar ceramah pejabat negara yang isinya menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia abad ini harus identik dengan bangsa Indonesia yang mandiri, toleran, menghargai sesama, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dll. Saya kemudian bertanya, apa hubungannya nasionalisme dengan tema-tema yang ‘dipaksakan’ itu? Nasionalisme bagi saya secara mudah adalah sentimen cinta tanah air, sebuah gagasan yang akan selalu dipertahankan oleh pemerintah untuk ditanamkan kepada warga negara. Dengan adanya nasionalisme yang tinggi, diharapkan kepentingan-kepentingan lain yang muncul akibat fondasi agama, bahasa, etnis, kebudayaan, adat-istiadat, dsb, bisa dinomor-2-kan, sementara nomor yang pertama adalah kepentingan nasional. Biasanya, sentimen seperti ini akan meluap jika kita bersinggungan dengan negara lain, bahkan justru bisa menjadi elemen pemersatu bangsa. Namun demikian, jika konflik dengan ‘luar’ itu tidak ada, nasionalisme menjadi ‘anak manis yang pendiam’.
By Fahlesa Munabari
Leave a comment